TEKNIK PENGENDALIAN GULMA DENGAN HERBISIDA PERSISTENSI RENDAH PADA TANAMAN PADI
Gulma merupakan salah satu faktor pembatas produksi tanaman padi. Gulma menyerap hara dan air lebih cepat dibanding tanaman pokok (Gupta 1984). Pada tanaman padi, biaya pengendalian gulma mencapai 50% dari biaya total produksi (IRRI 1992).
Komunitas gulma dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan kultur teknis. Spesies gulma yang tumbuh bergantung pada pengairan, pemupukan, pengolahan tanah, dan cara pengendalian gulma (Noor dan Pane 2002).
Gulma berinteraksi dengan tanaman melalui persaingan untuk mendapatkan satu atau lebih faktor tumbuh yang terbatas, seperti cahaya, hara, dan air. Tingkat persaingan bergantung pada curah hujan, varietas, kondisi tanah, kerapatan gulma, lamanya tanaman, pertumbuhan gulma, serta umur tanaman saat gulma mulai bersaing (Jatmiko et al. 2002).
Di tingkat petani, kehilangan hasil padi karena persaingan dengan gulma mencapai 10-15%. Karena terbatasnya tenaga kerja untuk menyiang, dalam mengendalikan gulma petani mulai beralih dari penyiangan secara manual ke pemakaian herbisida (Pane et al. 1999). Selain itu, penggunaan herbisida lebih ekonomis dan efektif mengendalikan gulma dibanding cara lain, terutama pada hamparan yang luas. (Caseley 1994; Moody 1994; Heong dan Escalada 1995). Pengendalian gulma dimaksudkan untuk menekan atau mengurangi populasi gulma sehingga penurunan hasil secara ekonomis menjadi tidak berarti (Mulyono et al. 2003).
Clomazon, kalium MCPA, dan 2,4 D dimetil amina merupakan herbisida dengan persistensi rendah. Menurut Jatmiko et al. (2002), persistensi adalah lamanya aktivitas biologi herbisida dalam tanah yang merupakan akibat dari penyerapan, volatilisasi, pencucian, dan degradasi biologi ataupun nonbiologi. Pada umumnya persistensi herbisida di dalam tanah lebih pendek dari pada insektisida dan bervariasi dari beberapa minggu hingga beberapa tahun, bergantung pada struktur dan sifat tanah serta kandungan air di dalam tanah. Herbisida persistensi rendah menandakan lamanya aktivitas biologi herbisida dalam tanah termasuk rendah. Dengan demikian, herbisida yang terserap tanaman padi juga rendah sehingga hasil padi aman dikonsumsi.
Tujuan percobaan ini adalah untuk mengetahui efektivitas pemakaian herbisida terhadap pertumbuhan gulma dan hasil padi. Herbisida yang diaplikasikan merupakan kelompok herbisida persistensi rendah yang lama aktivitas biologinya dalam tanah pendek.
BAHAN DAN METODE
Percobaan dilaksanakan di lahan petani dengan jenis tanah Vertisols di Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada MK 2001. Bahan yang digunakan meliputi herbisida dari golongan fenoksi yaitu 2,4 D dimetil amina dan kalium MCPA, herbisida dari golongan isoksazolidin yaitu clomazon, benih padi IR64, serta pupuk urea, SP-36, dan KCl. Alat yang dipakai adalah meteran gulung, cangkul, pengukur kadar air, timbangan manual dan elektrik, serta alat semprot (knapsack sprayer) dengan kapasitas 17 l.
Percobaan diawali dengan membuat persemaian 21 hari sebelum tanam. Pengolahan tanah dilakukan setelah petak percobaan dibuat. Petak percobaan berukuran 5 m x 6 m. Tanah diolah dengan cara dibalik sekali dan diratakan. Jumlah petakan setiap ulangan adalah lima petak. Penanaman dilakukan secara tanam pindah dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm setelah bibit padi berumur 21 hari setelah sebar (HSS).
Perlakuan pengendalian gulma yang dicobakan adalah: (W1) tanpa disiang; (W2) disiang manual dua kali pada 21 dan 42 hari setelah tanam (HST); (W3) clomazon 2 l/ha pada 3 HST; (W4) kalium MCPA 1,5 l/ha pada 10 HST; dan (W5) 2,4 D dimetil amina 1 l/ha pada 14 HST. Penentuan dosis herbisida dilakukan sebagai berikut:
Contoh perlakuan W3: clomazon 2 l/ha.
Ukuran plot: 5 m x 6 m = 30 m2
Luas 1 ha = 10.000 m2
Produk 2 l = 2.000 ml
Dosis herbisida tiap petak:
(30/10.000) x 2.000 = 6 ml/petak
Apabila dosis rekomendasi herbisida clomazon adalah 2 ml/l air, maka kebutuhan air untuk dosis 6 ml adalah 3 l, sedangkan kebutuhan air tiap hektar adalah 1.000 l. Cara penghitungan ini berlaku pula untuk perlakuan lainnya.
Perlakuan W1 dan W2 merupakan perlakuan pembanding. Penyemprotan dilakukan sesuai perlakuan pada saat cuaca cerah serta tidak melawan arah angin. Nozel yang digunakan berbentuk kipas dengan lebar 1,10 m.
Pada saat tanaman berumur 21 dan 42 HST, khusus untuk perlakuan W2 dilakukan penyiangan gulma di seluruh petakan. Penyiangan dilakukan secara manual menggunakan tenaga manusia, yaitu dengan mencabuti rumput atau gulma yang tumbuh dalam petakan sampai bersih.
Pupuk yang digunakan adalah urea, KCl, dan SP-36 masing-masing dengan takaran 112,5 kg N/ha, 45 kg P2O5/ha, dan 90 kg K2O/ha. Urea dan KCl diberikan dua kali, yaitu 1/2 takaran pada 7 HST dan 1/2 takaran setelah tanaman berumur 46 HST. Pupuk SP-36 diberikan sekali yaitu pada saat sebelum atau awal tanam.
Pengamatan untuk tinggi tanaman dan jumlah anakan dilakukan pada 30 dan 60 HST bersamaan dengan pengambilan contoh gulma. Setiap petak diamati 10 rumpun tanaman contoh. Untuk mengendalikan hama dan penyakit digunakan insektisida berbahan aktif sipermetrin dan difekonazol.
Pengambilan contoh gulma dilakukan dengan menempatkan kotak-kotak kecil pada sudut-sudut petakan sehingga membentuk suatu diagonal. Kotak berukuran 0,5 m x 0,5 m, terbuat dari bambu yang diikat dengan tali sehingga membentuk sebuah bujur sangkar. Jumlah kotak masing-masing petak adalah empat buah, yakni dua kotak untuk mengambil contoh gulma pada 30 HST dan dua kotak lainnya pada 60 HST (Gambar 1).
X
s
5 m
t
s 6 m s
Gambar 1. Posisi kotak contoh untuk pengambilan gulma
Keterangan :
X = Luas petakan
Y = Kotak contoh gulma
Contoh gulma kemudian dibawa ke tempat yang teduh dan tertutup agar pada saat identifikasi contoh gulma tidak beterbangan. Contoh gulma dipisahkan menurut spesiesnya kemudian diidentifikasi jenisnya dengan menggunakan buku klasifikasi gulma. Setiap spesies gulma dibungkus dengan kertas dan diberi label menurut perlakuannya. Contoh gulma kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC selama 24 jam. Selanjutnya contoh gulma ditimbang untuk mengetahui bobot keringnya. Cara yang sama pengambilan contoh gulma pada umur 60 HST demikian pula pelaksanaannya. Parameter tanaman yang diamati adalah persentase gabah isi, bobot gabah 1.000 butir pada KA 14%, dan hasil gabah kering bersih (t/ha).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Gulma
Berdasarkan pengamatan, gulma yang tumbuh di lahan percobaan adalah Marselia crenata, Paspalum distichum, Fimbritylis milliacea, Echinochloa colona, Learsia hexandra, Cyperus diformis, Ludwigia abisinica, Cynodon dactilon, Ludwigia adcendens, Leptochloa chinensis, Cyperus tenuispica, Cyperus sanguinolentus, Ludwigia perenis, Lindernia crustaceae, Echinochloa crusgali, Lindernia antipoda, Elatine triandra, Ludwigia octovalvis, Ludwigia adcendens, Echinochloa glabrescens, Cyperus iria, Cyanotis axilaris, dan Lindernia bacopa. Gulma yang dominan pada umur 30 HST adalah M. crenata, P. distichum, dan F. milliacea, sedangkan pada umur 60 HST adalah E. crusgali, E. glabrescens, dan M. crenata.
Gulma F. milliacea, L. perenis, E. triandra, dan C. axilaris tidak tampak pada 60 HST. Hal ini diduga karena adanya penyerapan unsur hara dalam jumlah besar oleh tanaman padi dan gulma yang dominan sehingga menekan pertumbuhan gulma lainnya. Gulma yang tumbuh hampir pada semua petak percobaan adalah M. crenata, terutama sebelum tanaman padi berumur 30 HST.
E. crusgalli merupakan gulma dominan pada umur 60 HST, namun pengaruhnya terhadap perlakuan W3, W4, dan W5 sangat kecil. Ini tampak dari hasil gabah yang hampir sama dengan perlakuan disiang dua kali (W2).
Pertumbuhan Tanaman Padi
Tinggi tanaman dan jumlah anakan tanaman padi antara perlakuan satu dengan lainnya tidak berbeda jauh, baik pada umur 30 HST maupun 60 HST (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan herbisida persistensi rendah tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman terutama pada fase vegetatif.
Hasil Padi
Perlakuan W2 (disiang dua kali) menghasilkan gabah paling tinggi (6,35 t/ha) dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 2). Perlakuan W1 (tanpa disiang) menghasilkan gabah paling rendah (4,50 t/ha). Hal ini membuktikan bahwa perlakuan W1 (tanpa disiang) bukan merupakan pilihan yang tepat dalam budi daya padi. Perbedaan hasil yang tidak terlalu mencolok antara perlakuan disiang dengan herbisida (W3, W4, dan W5) dengan disiang manual dua kali (W2) menunjukkan bahwa pengendalian gulma menggunakan tiga jenis herbisida ini mampu menggantikan pengendalian gulma dengan cara disiang dua kali.
Herbisida kalium MCPA yang disemprotkan pada umur 10 HST sangat efektif. Hal ini diduga karena aplikasi herbisida dilakukan pada saat yang tepat, yaitu pada periode persaingan pemanfaatan unsur hara, cahaya, dan air antara tanaman padi dengan gulma. Periode persaingan ini disebut dengan periode kritis tanaman. Pada tanaman padi, periode kritis terjadi pada umur 30-45 HST. Menurut Moody (1977), waktu persaingan gulma yang paling kritis pada tanaman terjadi pada periode 1/4 sampai 1/3 pertama dari siklus hidup tanaman. Gulma yang tumbuh setelah periode ini tidak akan menyebabkan kehilangan hasil yang nyata pada tanaman pokok.
Lamanya aktivitas biologi herbisida dalam tanah berlangsung sekitar satu bulan. Dengan persistensi yang rendah, herbisida yang terserap oleh tanaman padi diharapkan akan rendah pula atau dapat diminimalkan, sehingga kandungan herbisida dalam gabah tidak membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu, penggunaan herbisida persistensi rendah merupakan alternatif yang baik dalam pengendalian gulma, tetapi perlu memperhatikan keamanan lingkungan.
Tabel 1. Tinggi tanaman dan jumlah anakan tiap rumpun padi varietas IR64 pada umur 30 dan 60 HST pada berbagai perlakuan pengendalian gulma, Kecamatan Gabus, Pati MK 2001
Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan tiap rumpun
30 HST 60 HST 30 HST 60 HST
W1 (tanpa disiangi) 87,08 60,54 15 14
W2 (disiangi dua kali) 82,38 56,67 15 15
W3 (clomazon 2 1/ha pada 3 HST) 86,58 59,58 16 17
W4 (MCPA 1,5 1 /ha pada 10 HST) 86,17 58,63 16 15
W5 (2,4 D 1 1/ha pada 14 HST) 81,79 57,25 16 15
HST = hari setelah tanam
Tabel 2. Komponen hasil dan hasil padi varietas IR64 pada berbagai perlakuan pengendalian gulma dengan herbisida, Kecamatan Gabus, Pati, MK 2001
Perlakuan Gabah isi (%) Bobot gabah 1000 butir KA 14 % (g) Hasil (t/ha)
W1 (tanpa disiangi) 78,7 23,4 4,50
W2 (disiangi dua kali) 72,7 23,3 6,35
W3 (clomazon 2 1/ha pada 3 HST) 76,4 24,2 5,30
W4 (MCPA 1,5 1 /ha pada 10 HST) 75,4 24,5 5,64
W5 (2,4 D 1 1/ha pada 14 HST) 69,4 24,5 4,84
KESIMPULAN
Dari 23 jenis gulma yang tumbuh di pertanaman padi, terdapat tiga jenis gulma yang dominan pada umur 30 HST yaitu M. crenata, P. distichum, dan F. milliacea. Pada 60 HST, jenis gulma yang dominan adalah E. crusgali, E. glabrescens, dan M. crenata.
Pengendalian gulma dengan cara disiang dua kali menghasilkan gabah kering panen tertinggi (6,35 t/ha), sedangkan hasil terendah (4,5 t/ha) diperoleh dari perlakuan tanpa penyiangan. Pengendalian gulma dengan herbisida persistensi rendah menghasilkan gabah kering bersih tidak berbeda jauh dengan perlakuan disiang dua kali. Namun pengendalian gulma dengan herbisida persistensi rendah perlu memperhatikan keamanan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Caseley, J.C. 1994. Herbicide. p. 83-123. In R. Labrada, J.C. Caseley, and C. Parker (Eds.). Weed Management for Developing Countries. FAO Plant Production and Protection. Paper No. 120. FAO, Rome.
Gupta, O.P. 1984. Scientific Management. Today and Tomorrows. Printers and Pub. New Delhi, India. p. 102.
Heong, K.L. and M.M. Escalada. 1995. A comparative analysis of pest management practices of rice farmer in Asia. p. 227-245. In K.L. Heong and M.M. Escalada (Eds.). Pest Management of Rice Farmers in Asia. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines.
IRRI. 1992. Gogorancah: a Farmer’s Dry Seeded Rice Practice in Indonesia. Survey Report, Collaborated CRIFC-IRRI, Bogor and Los Banos.
Jatmiko, S.Y., Harsanti S., Sarwoto, dan A.N. Ardiwinata. 2002. Apakah herbisida yang digunakan cukup aman? hlm. 337-348. Dalam J. Soejitno, I.J. Sasa, dan Hermanto (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Moody, K. 1977. Weed Control in Multiple Cropping. Multiple Cropping Source Book. National Food and Agriculture Council, Department of Agriculture, University of Phlippines, Los Banos, Philippines. p. 69-76.
Moody, K. 1994. Weed management in rice. p. 249-256. In R. Labrada, J.C. Caseley, and C. Parker (Eds.). Weed Management for Developing Countres. FAO Plant Production and Protection. Paper No. 120. FAO, Rome.
Mulyono, S., H. Pane., S. Wahyuni, dan Noeriwan B.S. 2003. Aplikasi herbisida residu rendah dalam pengendalian gulma padi walik jerami pada penyiapan lahan yang berbeda. hlm. 317-327. Dalam S. Agus, S.Y. Jatmiko, dan I.J. Sasa (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Kualitas Lingkungan dan Produk Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Noor, E.S. dan H. Pane. 2002. Pengelolaan gulma pada sistem usaha tani berbasis padi di lahan sawah tadah hujan. hlm. 321-335. Dalam J. Soejitno, I.J. Sasa, dan Hermanto (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Pane, H., P. Bangun, dan S.Y. Jatmiko. 1999. Pengelolaan gulma pada pertanaman padi gogorancah dan walik jerami di lahan sawah tadah hujan. hlm. 321-334. Dalam S. Partohardjono, J. Soejitno, dan Hermanto (Ed.). Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Komunitas gulma dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan kultur teknis. Spesies gulma yang tumbuh bergantung pada pengairan, pemupukan, pengolahan tanah, dan cara pengendalian gulma (Noor dan Pane 2002).
Gulma berinteraksi dengan tanaman melalui persaingan untuk mendapatkan satu atau lebih faktor tumbuh yang terbatas, seperti cahaya, hara, dan air. Tingkat persaingan bergantung pada curah hujan, varietas, kondisi tanah, kerapatan gulma, lamanya tanaman, pertumbuhan gulma, serta umur tanaman saat gulma mulai bersaing (Jatmiko et al. 2002).
Di tingkat petani, kehilangan hasil padi karena persaingan dengan gulma mencapai 10-15%. Karena terbatasnya tenaga kerja untuk menyiang, dalam mengendalikan gulma petani mulai beralih dari penyiangan secara manual ke pemakaian herbisida (Pane et al. 1999). Selain itu, penggunaan herbisida lebih ekonomis dan efektif mengendalikan gulma dibanding cara lain, terutama pada hamparan yang luas. (Caseley 1994; Moody 1994; Heong dan Escalada 1995). Pengendalian gulma dimaksudkan untuk menekan atau mengurangi populasi gulma sehingga penurunan hasil secara ekonomis menjadi tidak berarti (Mulyono et al. 2003).
Clomazon, kalium MCPA, dan 2,4 D dimetil amina merupakan herbisida dengan persistensi rendah. Menurut Jatmiko et al. (2002), persistensi adalah lamanya aktivitas biologi herbisida dalam tanah yang merupakan akibat dari penyerapan, volatilisasi, pencucian, dan degradasi biologi ataupun nonbiologi. Pada umumnya persistensi herbisida di dalam tanah lebih pendek dari pada insektisida dan bervariasi dari beberapa minggu hingga beberapa tahun, bergantung pada struktur dan sifat tanah serta kandungan air di dalam tanah. Herbisida persistensi rendah menandakan lamanya aktivitas biologi herbisida dalam tanah termasuk rendah. Dengan demikian, herbisida yang terserap tanaman padi juga rendah sehingga hasil padi aman dikonsumsi.
Tujuan percobaan ini adalah untuk mengetahui efektivitas pemakaian herbisida terhadap pertumbuhan gulma dan hasil padi. Herbisida yang diaplikasikan merupakan kelompok herbisida persistensi rendah yang lama aktivitas biologinya dalam tanah pendek.
BAHAN DAN METODE
Percobaan dilaksanakan di lahan petani dengan jenis tanah Vertisols di Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada MK 2001. Bahan yang digunakan meliputi herbisida dari golongan fenoksi yaitu 2,4 D dimetil amina dan kalium MCPA, herbisida dari golongan isoksazolidin yaitu clomazon, benih padi IR64, serta pupuk urea, SP-36, dan KCl. Alat yang dipakai adalah meteran gulung, cangkul, pengukur kadar air, timbangan manual dan elektrik, serta alat semprot (knapsack sprayer) dengan kapasitas 17 l.
Percobaan diawali dengan membuat persemaian 21 hari sebelum tanam. Pengolahan tanah dilakukan setelah petak percobaan dibuat. Petak percobaan berukuran 5 m x 6 m. Tanah diolah dengan cara dibalik sekali dan diratakan. Jumlah petakan setiap ulangan adalah lima petak. Penanaman dilakukan secara tanam pindah dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm setelah bibit padi berumur 21 hari setelah sebar (HSS).
Perlakuan pengendalian gulma yang dicobakan adalah: (W1) tanpa disiang; (W2) disiang manual dua kali pada 21 dan 42 hari setelah tanam (HST); (W3) clomazon 2 l/ha pada 3 HST; (W4) kalium MCPA 1,5 l/ha pada 10 HST; dan (W5) 2,4 D dimetil amina 1 l/ha pada 14 HST. Penentuan dosis herbisida dilakukan sebagai berikut:
Contoh perlakuan W3: clomazon 2 l/ha.
Ukuran plot: 5 m x 6 m = 30 m2
Luas 1 ha = 10.000 m2
Produk 2 l = 2.000 ml
Dosis herbisida tiap petak:
(30/10.000) x 2.000 = 6 ml/petak
Apabila dosis rekomendasi herbisida clomazon adalah 2 ml/l air, maka kebutuhan air untuk dosis 6 ml adalah 3 l, sedangkan kebutuhan air tiap hektar adalah 1.000 l. Cara penghitungan ini berlaku pula untuk perlakuan lainnya.
Perlakuan W1 dan W2 merupakan perlakuan pembanding. Penyemprotan dilakukan sesuai perlakuan pada saat cuaca cerah serta tidak melawan arah angin. Nozel yang digunakan berbentuk kipas dengan lebar 1,10 m.
Pada saat tanaman berumur 21 dan 42 HST, khusus untuk perlakuan W2 dilakukan penyiangan gulma di seluruh petakan. Penyiangan dilakukan secara manual menggunakan tenaga manusia, yaitu dengan mencabuti rumput atau gulma yang tumbuh dalam petakan sampai bersih.
Pupuk yang digunakan adalah urea, KCl, dan SP-36 masing-masing dengan takaran 112,5 kg N/ha, 45 kg P2O5/ha, dan 90 kg K2O/ha. Urea dan KCl diberikan dua kali, yaitu 1/2 takaran pada 7 HST dan 1/2 takaran setelah tanaman berumur 46 HST. Pupuk SP-36 diberikan sekali yaitu pada saat sebelum atau awal tanam.
Pengamatan untuk tinggi tanaman dan jumlah anakan dilakukan pada 30 dan 60 HST bersamaan dengan pengambilan contoh gulma. Setiap petak diamati 10 rumpun tanaman contoh. Untuk mengendalikan hama dan penyakit digunakan insektisida berbahan aktif sipermetrin dan difekonazol.
Pengambilan contoh gulma dilakukan dengan menempatkan kotak-kotak kecil pada sudut-sudut petakan sehingga membentuk suatu diagonal. Kotak berukuran 0,5 m x 0,5 m, terbuat dari bambu yang diikat dengan tali sehingga membentuk sebuah bujur sangkar. Jumlah kotak masing-masing petak adalah empat buah, yakni dua kotak untuk mengambil contoh gulma pada 30 HST dan dua kotak lainnya pada 60 HST (Gambar 1).
X
s
5 m
t
s 6 m s
Gambar 1. Posisi kotak contoh untuk pengambilan gulma
Keterangan :
X = Luas petakan
Y = Kotak contoh gulma
Contoh gulma kemudian dibawa ke tempat yang teduh dan tertutup agar pada saat identifikasi contoh gulma tidak beterbangan. Contoh gulma dipisahkan menurut spesiesnya kemudian diidentifikasi jenisnya dengan menggunakan buku klasifikasi gulma. Setiap spesies gulma dibungkus dengan kertas dan diberi label menurut perlakuannya. Contoh gulma kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC selama 24 jam. Selanjutnya contoh gulma ditimbang untuk mengetahui bobot keringnya. Cara yang sama pengambilan contoh gulma pada umur 60 HST demikian pula pelaksanaannya. Parameter tanaman yang diamati adalah persentase gabah isi, bobot gabah 1.000 butir pada KA 14%, dan hasil gabah kering bersih (t/ha).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Gulma
Berdasarkan pengamatan, gulma yang tumbuh di lahan percobaan adalah Marselia crenata, Paspalum distichum, Fimbritylis milliacea, Echinochloa colona, Learsia hexandra, Cyperus diformis, Ludwigia abisinica, Cynodon dactilon, Ludwigia adcendens, Leptochloa chinensis, Cyperus tenuispica, Cyperus sanguinolentus, Ludwigia perenis, Lindernia crustaceae, Echinochloa crusgali, Lindernia antipoda, Elatine triandra, Ludwigia octovalvis, Ludwigia adcendens, Echinochloa glabrescens, Cyperus iria, Cyanotis axilaris, dan Lindernia bacopa. Gulma yang dominan pada umur 30 HST adalah M. crenata, P. distichum, dan F. milliacea, sedangkan pada umur 60 HST adalah E. crusgali, E. glabrescens, dan M. crenata.
Gulma F. milliacea, L. perenis, E. triandra, dan C. axilaris tidak tampak pada 60 HST. Hal ini diduga karena adanya penyerapan unsur hara dalam jumlah besar oleh tanaman padi dan gulma yang dominan sehingga menekan pertumbuhan gulma lainnya. Gulma yang tumbuh hampir pada semua petak percobaan adalah M. crenata, terutama sebelum tanaman padi berumur 30 HST.
E. crusgalli merupakan gulma dominan pada umur 60 HST, namun pengaruhnya terhadap perlakuan W3, W4, dan W5 sangat kecil. Ini tampak dari hasil gabah yang hampir sama dengan perlakuan disiang dua kali (W2).
Pertumbuhan Tanaman Padi
Tinggi tanaman dan jumlah anakan tanaman padi antara perlakuan satu dengan lainnya tidak berbeda jauh, baik pada umur 30 HST maupun 60 HST (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan herbisida persistensi rendah tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman terutama pada fase vegetatif.
Hasil Padi
Perlakuan W2 (disiang dua kali) menghasilkan gabah paling tinggi (6,35 t/ha) dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 2). Perlakuan W1 (tanpa disiang) menghasilkan gabah paling rendah (4,50 t/ha). Hal ini membuktikan bahwa perlakuan W1 (tanpa disiang) bukan merupakan pilihan yang tepat dalam budi daya padi. Perbedaan hasil yang tidak terlalu mencolok antara perlakuan disiang dengan herbisida (W3, W4, dan W5) dengan disiang manual dua kali (W2) menunjukkan bahwa pengendalian gulma menggunakan tiga jenis herbisida ini mampu menggantikan pengendalian gulma dengan cara disiang dua kali.
Herbisida kalium MCPA yang disemprotkan pada umur 10 HST sangat efektif. Hal ini diduga karena aplikasi herbisida dilakukan pada saat yang tepat, yaitu pada periode persaingan pemanfaatan unsur hara, cahaya, dan air antara tanaman padi dengan gulma. Periode persaingan ini disebut dengan periode kritis tanaman. Pada tanaman padi, periode kritis terjadi pada umur 30-45 HST. Menurut Moody (1977), waktu persaingan gulma yang paling kritis pada tanaman terjadi pada periode 1/4 sampai 1/3 pertama dari siklus hidup tanaman. Gulma yang tumbuh setelah periode ini tidak akan menyebabkan kehilangan hasil yang nyata pada tanaman pokok.
Lamanya aktivitas biologi herbisida dalam tanah berlangsung sekitar satu bulan. Dengan persistensi yang rendah, herbisida yang terserap oleh tanaman padi diharapkan akan rendah pula atau dapat diminimalkan, sehingga kandungan herbisida dalam gabah tidak membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu, penggunaan herbisida persistensi rendah merupakan alternatif yang baik dalam pengendalian gulma, tetapi perlu memperhatikan keamanan lingkungan.
Tabel 1. Tinggi tanaman dan jumlah anakan tiap rumpun padi varietas IR64 pada umur 30 dan 60 HST pada berbagai perlakuan pengendalian gulma, Kecamatan Gabus, Pati MK 2001
Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan tiap rumpun
30 HST 60 HST 30 HST 60 HST
W1 (tanpa disiangi) 87,08 60,54 15 14
W2 (disiangi dua kali) 82,38 56,67 15 15
W3 (clomazon 2 1/ha pada 3 HST) 86,58 59,58 16 17
W4 (MCPA 1,5 1 /ha pada 10 HST) 86,17 58,63 16 15
W5 (2,4 D 1 1/ha pada 14 HST) 81,79 57,25 16 15
HST = hari setelah tanam
Tabel 2. Komponen hasil dan hasil padi varietas IR64 pada berbagai perlakuan pengendalian gulma dengan herbisida, Kecamatan Gabus, Pati, MK 2001
Perlakuan Gabah isi (%) Bobot gabah 1000 butir KA 14 % (g) Hasil (t/ha)
W1 (tanpa disiangi) 78,7 23,4 4,50
W2 (disiangi dua kali) 72,7 23,3 6,35
W3 (clomazon 2 1/ha pada 3 HST) 76,4 24,2 5,30
W4 (MCPA 1,5 1 /ha pada 10 HST) 75,4 24,5 5,64
W5 (2,4 D 1 1/ha pada 14 HST) 69,4 24,5 4,84
KESIMPULAN
Dari 23 jenis gulma yang tumbuh di pertanaman padi, terdapat tiga jenis gulma yang dominan pada umur 30 HST yaitu M. crenata, P. distichum, dan F. milliacea. Pada 60 HST, jenis gulma yang dominan adalah E. crusgali, E. glabrescens, dan M. crenata.
Pengendalian gulma dengan cara disiang dua kali menghasilkan gabah kering panen tertinggi (6,35 t/ha), sedangkan hasil terendah (4,5 t/ha) diperoleh dari perlakuan tanpa penyiangan. Pengendalian gulma dengan herbisida persistensi rendah menghasilkan gabah kering bersih tidak berbeda jauh dengan perlakuan disiang dua kali. Namun pengendalian gulma dengan herbisida persistensi rendah perlu memperhatikan keamanan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Caseley, J.C. 1994. Herbicide. p. 83-123. In R. Labrada, J.C. Caseley, and C. Parker (Eds.). Weed Management for Developing Countries. FAO Plant Production and Protection. Paper No. 120. FAO, Rome.
Gupta, O.P. 1984. Scientific Management. Today and Tomorrows. Printers and Pub. New Delhi, India. p. 102.
Heong, K.L. and M.M. Escalada. 1995. A comparative analysis of pest management practices of rice farmer in Asia. p. 227-245. In K.L. Heong and M.M. Escalada (Eds.). Pest Management of Rice Farmers in Asia. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines.
IRRI. 1992. Gogorancah: a Farmer’s Dry Seeded Rice Practice in Indonesia. Survey Report, Collaborated CRIFC-IRRI, Bogor and Los Banos.
Jatmiko, S.Y., Harsanti S., Sarwoto, dan A.N. Ardiwinata. 2002. Apakah herbisida yang digunakan cukup aman? hlm. 337-348. Dalam J. Soejitno, I.J. Sasa, dan Hermanto (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Moody, K. 1977. Weed Control in Multiple Cropping. Multiple Cropping Source Book. National Food and Agriculture Council, Department of Agriculture, University of Phlippines, Los Banos, Philippines. p. 69-76.
Moody, K. 1994. Weed management in rice. p. 249-256. In R. Labrada, J.C. Caseley, and C. Parker (Eds.). Weed Management for Developing Countres. FAO Plant Production and Protection. Paper No. 120. FAO, Rome.
Mulyono, S., H. Pane., S. Wahyuni, dan Noeriwan B.S. 2003. Aplikasi herbisida residu rendah dalam pengendalian gulma padi walik jerami pada penyiapan lahan yang berbeda. hlm. 317-327. Dalam S. Agus, S.Y. Jatmiko, dan I.J. Sasa (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Kualitas Lingkungan dan Produk Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Noor, E.S. dan H. Pane. 2002. Pengelolaan gulma pada sistem usaha tani berbasis padi di lahan sawah tadah hujan. hlm. 321-335. Dalam J. Soejitno, I.J. Sasa, dan Hermanto (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Pane, H., P. Bangun, dan S.Y. Jatmiko. 1999. Pengelolaan gulma pada pertanaman padi gogorancah dan walik jerami di lahan sawah tadah hujan. hlm. 321-334. Dalam S. Partohardjono, J. Soejitno, dan Hermanto (Ed.). Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.